
Kedua tangan Davin menggenggam kemudi erat-erat, ketika perhatiannya teralih pada pintu kaca yang tertutup rapat. Sejujurnyadia belum siap untuk ini. Didalam rumah yang pintunya sedang ia pandangi, ada seseorang yang telah ia hindari selama beberapa tahun, sejak disemester kedua masa kuliahnya. Orang yang pernah sangat setia menunggunya, orang yang pernah sangat berarti dihidupnya, seseorang yang menjadi alasan kegigihannya dalam mencari beasiswa demi mengejar gelar sarjana di salah satu universitas Perancis.
“Suatu hari nanti, aku akan pulang membawa kesuksesan. Dan orang tuamu nggak akan punya alasan lagi buat nentang hubungan kita.”
Davin tak bisa lupa dengan janji yang telah ia ucapkan pada gadis itu, bagaimana dia bisa lupa pada sebuah janji yang akhirnya mengantarkannya pada Perancis. Dia hanya tidak bisa menepatinya, jadi dia berkali-kali mencoba untuk pura-pura lupa. Dia bhkan masih sangat ingat suara terakhir gadis itu ketika menghubunginya via telepon.
“Kita membangun semua dari nol, dari orang tuaku yang sama sekali nggak suka sama kamu, sampai mereka mulai bisa menerima kamu, tapi kenapa kamu begini?” Davin tidak bisa melihat seperti apa keadaan si pemilik suara saat mengucap kalimat itu, tapi suara parau dan isakan itu cukup mewakili.