Selasa, 29 November 2011

L FOR LOVE :))

Saat itu menjelang sore, ketika Davin mengendarai mobilnya memasuki halaman sebuah rumah yang tidak luas. Mobilnya masih bisa masuk dan berhenti tepat di depan pintu garasi yang tertutup. Dia mematikan mesin, mobil bergetar beberapa detik sebelum akhirnya bergeming. Dia mengawasi pemandangan taman kecil di depan rumah bergaya kuno itu, sebelum memutuskan untuk keluar dari mobil. Banyak sekali bunga disana, berbeda dengan halaman rumahnya yang hanya ditumbuhi pohon palem.
    Kedua tangan Davin menggenggam kemudi erat-erat, ketika perhatiannya teralih pada pintu kaca yang tertutup rapat. Sejujurnyadia belum siap untuk ini. Didalam rumah yang pintunya sedang ia pandangi, ada seseorang yang telah ia hindari selama beberapa tahun, sejak disemester kedua masa kuliahnya. Orang yang pernah sangat setia menunggunya, orang yang pernah sangat berarti dihidupnya, seseorang yang menjadi alasan kegigihannya dalam mencari beasiswa demi mengejar gelar sarjana di salah satu universitas Perancis.
“Suatu hari nanti, aku akan pulang membawa kesuksesan. Dan orang tuamu nggak akan punya alasan lagi buat nentang hubungan kita.”
Davin tak bisa lupa dengan janji yang telah ia ucapkan pada gadis itu, bagaimana dia bisa lupa pada sebuah janji yang akhirnya mengantarkannya pada Perancis. Dia hanya tidak bisa menepatinya, jadi dia berkali-kali mencoba untuk pura-pura lupa. Dia bhkan masih sangat ingat suara terakhir gadis itu ketika menghubunginya via telepon.
“Kita membangun semua dari nol, dari orang tuaku yang sama sekali nggak suka sama kamu, sampai mereka mulai bisa menerima kamu, tapi kenapa kamu begini?” Davin tidak bisa melihat seperti apa keadaan si pemilik suara saat mengucap kalimat itu,  tapi suara parau dan isakan itu cukup mewakili.
“Maaf Santiana, aku udah nggak bisa.” Ucapnya dengan sangat tegas. “Terus terang aja sikap kamu yang semakin lama semakin over protective itu berpengaruh pada IP-ku—“
    “Dan bikin kamu akhirnya jatuh cinta sama cewek itu?!” Santiana menyela, suaranya meninggi. Davin membeku dengan hendel telepon menempel ditelinganya. Gadis itu—Sisil—sangat mandiri dan rendah hati. Sama-sama dari Indonesia, teman satu kelasnya di universitas. Sisil adalah gambaran seorang Santiana yang pertama kali Davin kenal.
    “Kamu nggak nunjukin tanda-tanda berusaha berubah, San.” Kata Davin pelan.
    “Aku kan udah minta kesempatan sama kamu, Vin…” Tangis Santiana pecah. “Tolong Vin, kasih aku satu kesempatan lagi…”
    “aku udh nggak bisa, San”
    “Aku selalu ngasih kesempatan buat kamu kalau kamu bikin kesalahan Vin, kenapa kamu begini sama aku?” Santiana merajuk.
    “Kalau kamu emang pantas buat dikasih kesempatan, seharusnya kamu lebih cepat berubah San, seharusnya kamu tunjukin kalau kamu pantas buat aku—“
    “Oh!” suara Santiana melengking. “Jadi aku nggak pantes buat kamu? Kamu calon sarjana dari Perancis dan aku Cuma mahasiswi biasa di Indonesia, gitu?”
    Davin bergeming, menyesali kata-kata yang muncul begitu saja dari mulutnya dan membuat Santiana kalap. Tapi bayangan Sisil melintas begitu saja saat itu, memberi Davin kekuatan lebih.
“Tega banget kamu, Vin… aku nggak nyangka kamu bisa begini sama aku, aku nggak nyangka kamu tega—“
“Berhenti meratap Santiana!” sela Davin, “Itu membuat diri kamu semakin rendah di mataku.”
Nada sms berbunyi tiba-tiba.
Davin kembali pada dirinya yang berada didalam mobil, kendaraan yang dipercayakan padanya atas jabatan yang ia peroleh. Dia mengambil HP dalam saku kemejanya, ternyata sms dari Sisil yang menyuruh cepat pulang untuk makan malam bersama dirumah baru mereka. Rumah yang diberikan oleh orang tua Sisil sebagai hadiah pernikahan. Pikiran itu membuat Davin secara spontan melirik cincin pernikahan yang melingkar dijari manisnya.
Davin tidak membalas pesan itu, karena pikirannya tengah sulit untuk menberi balasan yang tepat. Saat dia berpaling ke teras rumah itu, lampu teras baru menyala tanda ada penghuni didalam sana. Santiana pasti menunggunya didalam. Ini adalah tanggal 25 Mei, Davin memastikan itu benar. Dia juga yakin surat yang terselip didalam kado pernikahan dan datang dalam bentuk paket itu benar-benar dari Santiana. Surat yang memintanya untuk datang….
Selamat atas pernikahanmu, semoga kamu bahagia.
Aku dan orang tuaku sangat senang kalau kamu bersedia datang kerumah. Kami mengundangmu dinner  tanggal 25 Mei nanti, kamu bisa ajak istrimu kalau kamu mau. Maaf kami tidak bisa menghadiri pernikahanmu, harap dimaklumi karena kami sekeluarga sedang berada di luar kota.
Santiana
 Begitu isi surat dari Santiana. Davin berpikir akan mengajak Sisil datang kesini juga, tapi dia tidak ingin Sisil tahu, bahwa Santiana adalah seseorang yang pernah ia campakkan. Maka dia datang kesini tanpa sepengetahuan Sisil.
Pintu mobil terbuka, Davin memutuskan untuk keluar akhirnya. Dia berjalan ke arah teras, pintu kaca yang dibaliknya tertutup gorden putih transparan itu tampak masih sama seperti dulu. Davin memencet bel di sisi pintu. Seorang perempuan berbaju terusan selutut, berwarna putih motif bunga-bunga merah kecil muncul dan membuka pintu.
“Hai Vin…? Apa kabar…?” Sambut perempuan berambut panjang yang dia kenal sebagai Santiana. Davin tersenyum, lebih tepatnya berusaha untuk tersenyum dan menjabat tangan Santiana yang terulur. “Akhirnya kamu memutuskan untuk masuk?” kata Santiana, Davin merasa tidak nyaman secara mendadak, rupanya dari tadi Santiana tahu dirinya tengah menimbang-nimbang didalam mobil.
“Mana istrimu?” dia menjulurkan kepalanya keluar dan melihat melewati bahu Davin.
“Aku sendirian,” jawab Davin. Santiana kembali menatap Davin, “Sayang sekali…” ujarnya dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat. Davin mengerti bahwa Santiana sebenarnya sudah bisa menebak kalau ia tidak akan membawa istrinya turut serta. Ia tahu Santiana seperti apa, dan juga sebaliknya.
“Ayo masuk,” Santiana berbalik, Davin mengikutinya masuk, mereka melintasi ruang tamu dan berbelok ke ruang keluarga. Davin memperhatikan langkah-langkah kaki Santiana yang jenjang, Santiana menoleh ke belakang sebentar dan tersenyum sekilas pada Davin. Ia lebih cantik dari yang terakhir kali Davin temui, Davin jadi merasa sedikit bersalah karena diam-diam kagum dengan kecantikan mantan kekasihnya.
“Silahkan,” Santiana mempersilahkan Davin duduk di kursi makan. Davin melihat begitu banyak makanan diatas meja. Tapi dia tidak melihat seorangpun kecuali Santiana di ruangan itu, piring makan yang menelungkup diatas meja juga hanya dua buah. Meskipun begitu bertanya-tanya, Davin menarik salah satu kursi juga untuk duduk. Santiana kemudian duduk di seberang meja.
Santiana tersenyum ketika Davin tampak sangat bingung. “Kamu pasti heran kenapa orang tuaku nggak ada.” Santiana menerka dengan tepat. “Mereka ada urusan di Bandung hari ini, karena nggak pasti kamu akan datang, jadi mereka berangkat tadi siang.”
“Gimana kabar mereka?” tanya Davin, berbasa-basi.
“Sangat baik.” Santiana menjawab dengan sangat cepat.
“Kalau gitu, aku titip salam buat mereka,” kata Davin, rikuh.
“Terimakasih, mereka pasti sangat senang. Mereka juga mau ngucapin selamat atas pernikahanmu dengan Sisil.” Santiana mengubah nada bicaranya menjadi lebih ceria, seperti berusaha untuk mencairkan suasana, tapi Davin merasa suasana tetap beku.
“Thanks,” ucap Davin. “Ng…., gimana kabar kamu sendiri?”
“Seperti yang kamu lihat.” Santiana berseri-seri. “Ayo kita mulai makan!” Santiana membalik piringnya, Davin juga. Mendadak Davin ingat istrinya yang menyiapkan makan malam di rumah.
“Kamu kepikiran istrimu?” tegur Santiana, Davin agak terkejut. Santiana seperti membaca pikirannya. Perempuan di hadapannya itu menyendokkan nasi ke piring Davin, takarannya pas. “Aku Cuma mengundangmu ke rumah hari ini aja Davin, besok dan seterusnya nggak lagi.” Kali ini dia meletakkan sepotong ayam bakar kesukaan Davin ke piring Davin.
Davin sedikit lega, benar juga. Setelah makan dia akan pamit pulang dan menemui istrinya yang telah menanti dirumah.
“Silahkan,” ujar Santiana, memberi isyarat agar Davin mengambil lauk yang lain. Setelah itu dia menyendok nasi untuk piringnya sendiri.
Davin mulai memakan nasinya, Santiana mengawasi dari kursinya dengan senyuman terus mengembang dibibirnya. “Enak, Vin?” Tegur Santiana.
    Davin mengangguk.
    “Itu aku sendiri yang masak.” Ujar Santiana.
    Davin kembali menyendokkan nasi ke mulutnya, agak buru-buru. Santiana menuangkan segelas air jeruk ke gelas Davin yang masih kosong, lalu menuangkan juga ke gelasnya sendiri.
    “Kamu ingat nggak Vin,” Santiana meletakkan teko kembali ketempatnya. “Hari ini adalah hari dimana kita pertama kali pacaran—“
    Davin tersedak, dia mengangkat gelasnya dan meneguk isinya perlahan, tanpa sengaja dari sudut matanya dia menangkap kilatan aneh dimata Santiana.
    Nada sms tiba-tiba berbunyi.
Davin tersentak, dia melihat sekeliling, ternyata dia masih didalam mobil. Bagaimana dia bisa tertidur didalam mobilnya. Davin mengambil HP dari saku kemeja, ada sms dari istrinya. Isinya menyuruh Davin untuk cepat pulang, karena istrinya telah menyiapkan makan malam untuknya.
Davin berpaling kearah rumah itu, hawa dingin aneh yang tidak berhubungan dengan AC mobilnya tiba-tiba menjalari tubuhnya. Davin menghidupkan mesin mobilnya dan memutuskan untuk pulang. Dia pikir sebaiknya tidak menemui Santiana, sebaiknya dia pulang dan menjelaskan pada Sisil siapa itu Santiana. Sisil berhak tahu, dan dia tentu bisa mengerti.
Dia akhirnya mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah Santiana menuju ke arah jalan pulang. Sisil pasti sedang menantinya di ruang makan yang sangat nyaman. Beberapa menit kemudian mobil Davin sampai di depan rumah barunya. Davin buru-buru keluar dari mobil dan bergegas menuju pintu kayu yang tertutup rapat.
Davin mengetuk pintu sambil berkata, “Yang… aku pulang, nih…” dan tak lama terdengar langkah-langkah dari dalam sana, Davin menghembuskan nafas lega.
Pintu terbuka, Davin mengangkat wajahnya untuk melihat senyum sambutan istrinya. Tapi matanya membulat ketika melihat siapa yang ada dibalik pintu…
“Santiana?”
“Hai, Vin…?” Santiana dengan baju putih motif bunga-bunga merah tersenyum senang melihat Davin. Sementara Davin terheran-heran karena pintu di rumahnya bukan lagi pintu kayu, melainkan kaca.  Davin menoleh ke belakang, taman kecil itu, dia masih berada dirumah Santiana sepertinya. Tentu ini rumah Santiana, karena yang membuka pintu adalah Santiana. Bagaimana bisa dia berhayal bahwa ini adalah rumahnya, mungkin ada yang salah.
Davin meraba keningnya, sepertinya dia mulai sedikit mengalami gangguan ingatan. Ini seperti de javu yang berlebihan. Dia kembali berpaling pada Santiana, dan Santiana masih tersenyum padanya. Tapi tiba-tiba Santiana mengangkat pisau dapur ditangan kanan dan secepat kilat menghunuskannya ke dada Davin sebelum dia sempat menghindar.
“Arrgh!”
Davin memekik tertahan. Dia membuka mata, nafasnya memburu, tangannya mencengkeram kemudi mobil. Dia berada dalam mobil, dia MASIH berada didalam mobil. Davin mulai merasa ada yang salah dengan rentetan mimpinya.
Langit diluar sana sudah gelap. Nada sms tiba-tiba berbunyi—dari HP yang ada didalam sakunya. Davin menebak sms itu dari istrinya yang meminta untuk cepat pulang. Dia mengambil HP dari saku kemeja dan menemukan tebakannya yang tidak meleset.
Ia kemudian keluar dari mobil dalam keadaan berkeringat, ketika melihat ke arah pintu rumah Santiana, dia dapat melihat dengan jelas ruang didalam sana, karena pintunya dibiarkan terbuka. Davin lalu berjalan memasuki rumah dengan langkah pelan.
Dia melintasi ruang tamu, berbelok ke ruang keluarga. Disitu ada sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Yaitu sebuah bingkai yang didalamnya terdapat  foto orang tua Santiana, menempel di dinding tepat diatas sofa merah marun. Disisi bingkai itu terdapat foto lain, foto adik laki-laki Santiana yang meninggal ketika usianya masih lima tahun. Yang membuat Davin terkejut adalah tulisan besar-besar yang seperti terbuat dari bahan triplek diatas kedua bingkai tersebut, IN MEMORIAM.
PRAANG!!!
Suara pecahan benda mengalihkan perhatian Davin, dia berjalan kearah ruang makan. Dari luar pintu ruang makan dia melihat banyak makanan diatas meja. Davin melangkah masuk lebih jauh, dan dia melihat  Santiana berdiri di sisi meja makan. Wajahnya menunduk entah melihat apa, karena pandangan Davin terhalang oleh meja makan jadi ia tidak bisa melihat apa yang Santiana perhatikan.
“San—“ Suara Davin tertahan ketika dia melangkah lebih dekat, dan melihat pecahan gelas dilantai. Bukan pecahan gelas itu tepatnya yang lantas membuat suaranya tersekat, tapi sebuah tangan dengan cincin dijari manisnya yang merebah diantara serpihan gelas tersebut.
Davin melangkah dengan gerakan yang sangat pelan. Dia mengikuti arah pandang Santiana yang bergeming. Davin tergeragap ketika melihat tubuh laki-laki yang tergolek tepat di sisi kaki Santiana, kedua mata laki-laki itu terbuka, buih memenuhi mulutnya yang bergeming.
“Sekarang,” Santiana bersuara tiba-tiba, dingin dan dalam. “Kamu nggak pantes buat perempuan manapun, Davin.” Santiana tertawa pelan diakhir kalimatnya. Davin berusaha untuk berteriak, namun yang keluar dari mulutnya hanya udara dingin.
Jember, 28 Mei 2011 23:22 WIB.
Sumber lain : http://cerpen.web.id/articles/120/1/L-for-Love/Page1.html

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Blog Template by YummyLolly.com
Sponsored by Free Web Space